Dengan sejarah merentang dari Abad 19 sampai kini, golf di Ibu Kota bukan sekadar olahraga kaum elit, melainkan juga tentang kuasa, skandal, dan harapan mereka yang menolak kalah melawan hidup.
Lapangan golf di Rawamangun, Jakarta Timur, ini punya satu anggota kebanggaan yang kisahnya terus diceritakan turun temurun. “Pak Harto biasanya main di hole 1 atau 10,” kata Dadan, pengurus senior Jakarta Golf Club, kepada VICE. “[Dia] main seminggu dua kali.”
Harto yang dimaksud Dadan tak lain dan tak bukan adalah Suharto, Presiden ke-2 Indonesia yang menjabat selama 32 tahun, di bawah tatanan rezim yang kita kenal dengan julukan Orde Baru.
Pernyataan Dadan membuat saya membayangkan bagaimana sang diktator itu bermain golf: mengenakan kemeja polo yang dipadupadankan celana khaki halus, mengisap cerutu, dan tersenyum lebar setelah berhasil mencetak hole in one.
Golf adalah salah satu kegemaran waktu senggang bekas perwira kelahiran Kemusuk, Bantul, ini selain memancing━serta tentunya mengganyang terduga komunis. Jangan salah sangka; doi bukan golfer karbitan. Arsip sejarah menulis Suharto sudah menggeluti golf jauh sebelum dia menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia.
Bagi Suharto, golf bukan sekadar ajang menjaga kebugaran tubuh: golf juga berfungsi sebagai alat diplomasi ke negara sahabat. Ferdinand Marcos, Lee Kuan Yew, hingga Tun Abdul Razak merupakan daftar pejabat yang pernah bermain golf bersama The Smiling General.
Coba lihat fakta lain berikut ini: nama Suharto tercatat sebagai anggota tetap Jakarta Club Golf dari kurun waktu 1963 hingga 1978.
Suharto bukanlah satu-satunya sosok elit di lingkaran tertinggi kekuasaan yang punya relasi dengan Jakarta Club Golf. Selain dia, ada Mohamad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), Ahmad Soebardjo (Menteri Luar Negeri pertama), sampai Soepomo (Menteri Kehakiman sekaligus perancang konstitusi Indonesia).
Itu baru di tingkat anggota. Di jajaran pengurus ada Laksamana E. Martadinata (Panglima Angkatan Laut), Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina di era Orba), Soedomo (Pangkopkamtib), serta Bob Hasan (pebisnis dan kroni Pak Harto). Semuanya yang disebut ini pernah jadi presiden klub tersebut.
Banyaknya elit Indonesia yang bermain golf, terutama di era OrBa, tidak sekonyong-konyong muncul begitu saja. Andi Achdian, dosen Universitas Nasional sekaligus editor Jurnal Sejarah, menerangkan bahwa tren tersebut lahir sebab para pejabat ingin mengikuti langkah sang patron, atau dalam hal ini Pak Harto.
“Ketika Suharto main golf, maka pejabat di bawahnya akan ikut. Ini terjadi lantaran mereka ingin menggunakan golf sebagai sarana bertemu dengan Suharto sekaligus membangun mobilitas sosial ke atas, dengan kata lain kekuasaan,” kata penulis buku Tanah bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965 ini saat dihubungi VICE.
Andi bilang faktor pemicu lainnya ialah kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia akhir dekade 70’an yang sedang makmur-makmurnya akibat boom minyak. Ledakan harga minyak global didorong oleh Revolusi Iran yang meletus pada 1979. Harga minyak yang semula US$2,7 per barel melonjak 1.000 persen, menjadi US$29,19 per barel.
Puncaknya terjadi pada 1980, ketika harga menyentuh US$34,42 per barel. Pertumbuhan ekonomi pun segera melesat. Rentang 1972 sampai 1980, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010, Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 6,8 persen━tergolong tinggi untuk ukuran negara berkembang.
“Dengan demikian, masyarakat terdorong untuk berperilaku berlebihan secara ekonomis. Para pejabat juga sama saja. Kekayaan yang diciptakan oleh negara lewat boom minyak, alih-alih dari sektor industri, turut mengubah kultur birokrasi waktu itu. Mereka, baik dari pemerintahan maupun swasta, terobsesi untuk memperkaya diri sendiri. Kalau di olahraga, ya, golf jadi jalannya,” papar Andi.
sumber : Vice