Bagi yang pernah tinggal di Rawamangun, Jakarta Timur pada periode 1980-an dan awal 1990-an, atau setidaknya pernah melintasi kawasan tersebut. Ada pemandangan yang khas setiap hari Kamis atau Jumat sore.
Yakni dua unit panser yang sibuk berjaga-jaga di sekitaran lapangan golf Rawamangun, tak jauh dari kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) — dahulu bernama IKIP Jakarta–. Keberadaan panser itu merupakan penanda bahwa Presiden Soeharto sedang bermain golf, di lapangan golf tertua di Jakarta.
Memang selain mancing, Soeharto sangat menyukai bermain golf. Olahraga itulah yang kerap dia lakukan bersama para kolega maupun tamu. Tentu, terkadang golf yang dilakoni Soeharto tak hanya untuk menjaga kebugaran tubuh, tetapi juga untuk keperluan lain yang bersifat politis.
“Saat mulai berkuasa, Soeharto secara rutin bermain golf di Rawamangun, sembari sesekali mengajak pula menteri atau pejabat negara lainnya,” ucap pengamat militer Aris Santoso, mengutip Hakasasi, Kamis (21/10/2021).
Menurut Aris, sembari bermain golf, Soeharto bersama pejabat yang diajak itu acap membahas isu-isu penting terkait urusan negara dan pemerintahan. Karena itu tidak perlu heran, bila banyak kebijakan penting pada masa itu yang lahir dari lapangan golf.
“…Bisa jadi banyak keputusan penting pada masa lalu diputuskan melalui obrolan informal Soeharto dan para anak buahnya di lapangan golf,” beber Aris.
Golf akhirnya menjadi hobi “resmi” para pejabat di lingkaran pemerintahan Soeharto. Tidak hanya menjadi hobi, namun menjadi gaya hidup para elite pada masa itu.
Aris mencatat pejabat saat itu, baik sipil atau militer, berlomba-lomba belajar golf. Salah satu alasannya tentu antisipasi bila sewaktu-waktu diundang oleh Presiden Soeharto menghabiskan waktu bermain golf.
“Tren golf ini kemudian menjalar pula pada level berikutnya, bahkan sampai pejabat di daerah. Walhasil, jadilah golf sebagai gaya hidup kelas elite di negeri ini,” tandasnya.
Belajar dari Bob Hasan
Sejak awal tahun 1960-an, Soeharto sudah berkenalan dengan olahraga golf. Adalah pengusaha Bob Hasan yang memperkenalkan sekaligus menemani belajar golf, saat Soeharto masih menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Memang ada ikatan khusus antara Bob Hasan dan Soeharto, yang sudah terjalin sejak Soeharto masih jadi Panglima Kodam Diponegoro pada pertengahan 1950-an. Bob merupakan anak angkat mantan Wakil KSAD Jenderal Gatot Subroto.
“Pak Harto tidak mau main golf sama orang lain, sama saya saja. Karena kalau sama pejabat ngomongnya soal pemerintahan lagi,” kata Bob, yang dinukil dari Detik, Kamis (21/10).
Bob dan Soeharto sama-sama belajar golf dari nol. Permainan ini sebenarnya mulai menjadi kebiasaan ketika keduanya masih muda pada era Orde Lama.
Dijelaskan oleh Aris, sebelum Soeharto sebenarnya ada jenderal terkenal lain yang lebih dahulu tertarik pada golf, yakni Ahmad Yani. Saat itu Yani, baru saja kembali dari menempuh pendidikan (setingkat Seskoad) di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat.
Rupanya Yani sangat terkesan dengan kebiasaan perwira Amerika dan Eropa Barat umumnya, yang biasa bermain golf di waktu senggang. Dan di kampus Yani sendiri di Fort Leavenworth, terdapat lapangan golf yang menawarkan sesi latihan khusus bagi siswa yang berminat.
“Saat sudah kembali ke Jakarta, Yani mengajak Soeharto dan Bob Hasan untuk bersama-sama belajar golf,” tutur Aris.
Sebagaimana kita tahu, Yani berteman dekat dengan Soeharto sejak lama karena sama-sama berasal dari rumpun Diponegoro. Saat Yani dan Soeharto masih bertugas di Kodam Diponegoro, Panglimanya adalah Gatot Subroto, sehingga Yani pun otomatis mengenal Bob Hasan.
Saat itu mereka mengandalkan caddy untuk membantu latihan. Pelan-pelan, baik Soeharto maupun Bob pun mulai mencintai olahraga ini.
Tetapi disebabkan karena golf, Yani malah menjadi celaka. Bedasarkan analisis Benedict Anderson, para prajurit Kodam Diponegoro kecewa pada gaya hidup Yani ketika sudah jadi elite militer di Jakarta.
Yani dianggap mulai bergaya kebarat-baratan dan tidak sesuai lagi dengan spirit rumpun Diponegoro yang puritan dan bersahaja.
Salah satu contoh gaya hidup kebarat-baratan yang dimaksud adalah soal kegemaran Yani bermain golf. Kekecewaan prajurit Diponegoro pada Yani memuncak pada peristiwa yang kemudian kita kenal sebagai Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.
“Selain meneruskan jabatan Yani di militer, akhirnya Soeharto juga melanjutkan kegemaran Yani bermain golf,” pungkas Aris.
Menukil dari Tirto, bedasarkan laporan Suara Karya (5/6/1990), dalam seminggu, Soeharto rutin main golf tiga kali, yakni pada Senin, Rabu, dan Jumat, masing-masing selama 2 jam. Biasanya dirinya bermain pada sore hari di padang golf Rawamangun, Jakarta. Soeharto mampu bermain 9 lubang sekali latihan. Dia sangat disiplin. Hujan tak menghalanginya untuk main golf 3 kali dalam sepekan.
Bertemu Ratna Sari Dewi hingga Bu Tien cemburu
Bedasarkan paparan Historia, beberapa bulan pasca terjadinya tragedi G30S 1965 hubungan Presiden Soekarno dengan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto tak mesra. Hubungan ini tambah memburuk setelah keluarnya Supersemar pada 1966.
Bob Hasan tampak prihatin dengan hubungan kedua tokoh bangsa tersebut. Dirinya lalu memiliki ide untuk mendamaikan keduanya.
Dia mencoba mengajak istri termuda Bung Karno, Ratna Sari Dewi bermain golf di Rawamangun. Namun, pada saat yang sama, Bob Hasan juga mengundang Soeharto untuk bermain golf.
Dewi dianggap sebagai orang dekat Soekarno yang cukup berpengaruh. Dia tampak hendak menjadi penengah antara Soeharto dengan Soekarno.
Di lapangan golf pula, lewat Dewi, Soeharto memberikan tiga pilihan kepada Soekarno. Pertama, pergi ke luar negeri untuk beristirahat. Kedua, tetap tinggal di Indonesia sebagai presiden namun hanya sebulan. Dan ketiga, mengundurkan diri secara total.
“Belakangan Dewi memberi kesaksian kepada saya bahwa begitu mendengar tiga opsi saran Soeharto itu, dia baru menyadari bahwa dia dan suaminya telah kalah dalam pertandingan ini,” kata Sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa.
Masalah tidak berhenti sampai situ. Pertemuan antara Soeharto dan Ratna Sari Dewi sampai ke telinga Tien Soeharto. Sebagai wanita, Ibu Tien langsung terbakar api cemburu. Apalagi Ratna Sari Dewi masih muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa. Imbasnya, Ibu Tien mendiamkan Soeharto sampai berhari-hari.
Kalahkan Rambo
Jumat pagi, 21 Oktober 1994, Soeharto dikejutkan dengan sosok asing yang tiba-tiba muncul di lapangan golf Rawamangun. Dialah Sylvester Stallone, aktor laga kawakan yang memerankan John Rambo dalam serial film aksi Rambo yang tenar pada 1980-an.
Sly–panggilan akrab Stallone–datang didampingi Bob Hassan dan Sudwikatmono, dua konglomerat bisnis yang terkenal dekat dengan Soeharto. Dirinya direncanakan akan membuka cabang restoran Planet Hollywood di Jakarta.
Dikutip dari Historia, Sly yang saat itu berusia 50 tahun ditantang Soeharto yang sudah berusia 73 tahun. Ketika Sly mengayunkan stik golf untuk memukul bola, mata Soeharto tak lepas darinya. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Soeharto.
“Anda pemain terbaik,” kata Sly dalam bahasa Inggris. Soeharto juga membalas dalam bahasa Inggris dengan rendah hati, ”Terimakasih. Kau juga tidak buruk, tapi saya beruntung.”
Keduanya kemudian menuju ruang istirahat untuk bercengkerama. Soeharto memberikan jamuan dan sebuah buku panorama alam Indonesia kepada Sly. Sly pun membalas dengan memberikan sebuah jaket berlogo Planet Hollywood kepada Soeharto.
Selepas main golf pada hari Jumat itu, Soeharto undur diri dari Rawamangun untuk kembali ke rumahnya. Sly ikut mengantarnya ke mobil. Di hadapan wartawan, Sly mengaku, ”Sungguh, saya sudah berusaha bermain baik. Tapi dia bermaih lebih baik. Dia terlalu tangguh untuk Rambo.”
sumber : goodnewsfromindonesia.id